Monday, 30 January 2017

Tidak Harus Ibukota Negara

IPM atau Indeks pembangunan manusia adalah pengukuran mengenai bagaimana kualitas suatu kota dalam mengembangkan manusia. IPM ini biasanya diukur melalui standar pelayanan publik yang ada di kota tersebut seperti pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan, pelayanan tempat ibadah, pelayanan sarana olahraga, dll. Namun apakah standar pelyanan publik tertinggi disuatu negara pasti adalah ibu kota? 

Mari kita liat.

Standar pelayanan publik tertinggi di Italia adalah Milan, bukan Roma. Stndar pelayanan publik tertinggi di Arab Saudi ada di Madinah, bukan Riyadh. Begitupun Amerika dengan New Yorknya, bukan Washington. Jadi kalau ada yang bilang ibu kota negara pasti selalu menjadi yang tertinggi dalam hal pelayanan publik dan IPM, saya rasa keliru. Tapi pemikiran seperti itu untuk orang Indonesia adalah hal yang wajar. Kenapa? Karena kita orang Indonesia yang beribu kota Jakarta.

Kalau kita melihat di Indonesia, indeks pembangunan manusia dan indeks pelayanan publik memang masih dikuasai oleh ibu kota negara, Jakarta. Hal ini dikarena pembangunan pelayanan publik kota Jakarta yang tidak seimbang dengan kota-kota lain di Indonesia sejak dari dulu kala. Sejak jaman Presiden Soekarno, pemerintah selalu berpikiran bahwa Jakarta adalah ibu kota yang menjadi lambang dan simbol serta gambaran dari negara. Pemerintah selalu berpikir bahwa menajaga citra dari jakarta itu sama dengan menjaga citra indonesia dimata dunia. Sehingga semua pembangunan pada saat itu fokus pada Jakarta, dan hal ini juga diamini oleh suksesornya yaitu pak harto bahkan suksesor-suksesor lainnya. Namun, tanpa disadari dengan begitu justru akan menyebabkan terjadinya ketimpangan ekonomi yang cukup besar dan pemasalahan-permasalahan lainnya.

Infrastuktur yang di bangun di Jakarta tentu menyebabkan swasta yang ingin berinvestasi pasti akan lebih memilih jakarta sebagai tempat mereka membuka usaha dan investasi ketimbang kota-kota lainnya. Hasilnya sekarang di kota-kota lainnya apalagi kota-kota yang diluar jawa seperti Makassar dan Medan, masyarakatnya agak kesulitan mendapatkan pekerjaan pada perusahaan-perusahaan yang bonafit karena rata-rata perusahaan-perusahaan yang bonafit akan lebih memilih bercokol di Jakarta. Mau tidak mau, suka tidak suka, pada akhirnya orang-orang dari berbagai belahan Indonesia semua bermigrasi ke Jakarta untuk mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang baik ketimbang bekerja di kampung halamannya. Begitu lah faktanya.

Pemerintah harus sadar, bahwa biaya pembangunan pelayanan publik jangan lagi terlalu di forsir ke ibu kota Jakarta lagi, melainkan memforsir biaya pembangunan tersebut ke daerah-daerah yang sedang berkembang. Masih banyak kota yang punya potensi untuk di kembangkan. Masih banyak kota yang juga harus dibuat sama seperti Jakarta. 

Hal ini pula lah sebenarnya yang menyebabkan mengapa Kota Jakarta itu selalu punya banyak masalah yang sangat-sangat sulit untuk diselesaikan, karena menurut saya sebenarnya akar masalah dari semua masalah di kota Jakarta adalah pembangunan di Jakarta itu sendiri. Pembangunan yang sebenarnya telah melampaui kapasitas dari kota Jakarta sendiri. Dan yang perlu diingat, Jakarta bukanlah singapura, jakarta bukanlah sebuah negara yang bisa menerapkan peraturan batasan jumlah imigran dan sejenisnya. Karena Jakarta hanyalah salah satu kota di Indonesia. Berapapun orang Indonesia yang ingin ke Jakarta, dan berpindah tempat tinggal ke Jakarta sangat sulit untuk dibatasi oleh pemerintah. Jadi menurut saya "menjakartakan" pembangunan di daerah/kota yang lain adalah salah satu solusi yang tepat untuk mengatasi permasalahan di Jakarta selain dari gusur menggusur. Semoga kedepannya pemerintah bisa sadar akan hal ini.

Demikianlah artikel ini saya tulis. Ini hanya opini saya semata, namun mudah-mudahan ada manfaatnya bagi yang membacanya. Kalau ada tanggapan monggo di komentar saja dibawah, tidak perlu sungkan-sungkan. Kalau suka dan punya pemikiran yang sama silahkan di share. 

Terima kasih.

2 comments: